Editor : Adzkiya Naila
Penulis : Harry Yulianto, Akademisi STIE YPUP Makassar.
Radar Waktu, Opini – Ketika gelombang disinformasi dengan sengaja membanjiri ruang publik, sebagian besar kampus justru sibuk berdebat tentang adab akademik: apakah dosen boleh turun ke gelanggang? Debat usang ini merupakan jebakan maut yang menguntungkan para penyebar kebohongan. Setiap detik yang dihabiskan untuk merenungkan pseudo-dilema “akademisi atau aktivis” adalah detik yang dicuri dari pertempuran nyata: menyelamatkan nalar publik dari kepunahan. Waktunya telah habis untuk bersikap manis. Seorang intelektual yang diam di tengah krisis bukanlah penjaga kebenaran, namun ia adalah kolaborator pasif bagi kesesatan.
Masyarakat kita gemar memaksa dosen memilih satu label: ilmuwan yang dingin dan objektif di menara gading, atau aktivis yang panas dan partisan di jalanan. Narasi dikotomis ini menggoda, seolah menggambarkan pilihan moral yang berat. Namun, inilah jebakan terbesar yang melumpuhkan peran intelektual kampus hari ini.
Pertarungan sebenarnya bukan memilih antara dua kutub itu, melainkan melawan ilusi bahwa keduanya saling bertentangan. Yang kita hadapi adalah sebuah pseudo-dilema, sebuah teka-teki palsu yang lahir dari kesalahpahaman akan hakikat ilmu pengetahuan. Untuk membebaskan diri dari jebakan ini, kita harus terlebih dahulu membongkar dua mitos yang mendasarinya.
Membongkar Dikotomi Palsu
Pseudo-dilema ini bertahan karena dua mitos yang dipegang teguh. Mitos pertama adalah anggapan bahwa seorang akademisi harus steril dari kepentingan publik. Sejarah membuktikan sebaliknya. Dari Sokrates yang berdialog di pasar Athena (abad ke-5 SM) hingga Tan Malaka yang menulis ‘Madilog’ (1943), intelektual sejati justru lahir dari perjuangan dengan realitas sosialnya. Aktivisme yang bertanggung jawab bukanlah pengkhianatan terhadap ilmu, melainkan bentuk pertanggungjawaban tertingginya. Pengetahuan yang dikurung rapat di jurnal ilmiah, tanpa pernah menyentuh denyut nadi masyarakat, pada hakikatnya telah mengkhianati janji awalnya: untuk mencerahkan.
Mitos kedua adalah keyakinan bahwa menjadi aktivis berarti meninggalkan disiplin ilmiah. Inilah yang membuat banyak dosen khawatir: turun ke gelanggang opini berarti bermain dengan logika pasar yang kotor. Konsekuensi dari kekhawatiran ini adalah sikap menghindar. Padahal, seperti diingatkan filsuf Harry Frankfurt dalam On Bullshit (2005), “penolakan untuk memperhatikan kebenaran adalah bentuk kelalaian yang tidak bertanggung jawab.” Pilihan sebenarnya bukan antara ilmiah atau populis, melainkan antara metodologi yang ketat atau analisis yang gegabah. Dosen boleh, dan harus, turun ke ruang publik, tetapi dengan membawa serta seluruh perlengkapan metodologisnya sebagai tameng dan pedang.
Akar Masalah: Salah Kaprah tentang Netralitas
Pseudo-dilema berakar pada pemahaman yang keliru tentang netralitas akademik. Netralitas sering disalahartikan sebagai keharusan untuk diam, padahal esensinya adalah komitmen pada prosedur yang adil. Seorang ahli fisika yang membantah klaim energi palsu tidak memihak pada perusahaan listrik tertentu; namun ia memihak pada hukum termodinamika. Sejarawan yang meluruskan narasi masa lalu tidak membela kelompok politik mana pun; namun ia membela integritas sumber primer. Netralitas yang sejati adalah keberpihakan aktif pada metode, data, dan logika, bukan pasifitas yang membiarkan kebatilan merajalela. Inilah yang oleh sosiolog Pierre Bourdieu sepanjang karirnya diperjuangkan sebagai bentuk ‘netralitas yang terlibat’.
Pemahaman keliru tentang netralitas ini menjadi semakin berbahaya di era post-truth, di mana perasaan lebih kuat daripada fakta, justru mempertegas kebutuhan akan keberpihakan metodologis ini. Ketika masyarakat kebingungan memilah informasi, sosok yang konsisten pada prosedur verifikasi justru menjadi penjaga terakhir rasionalitas publik. Pseudo-dilema akademisi-aktivis memaksa dosen untuk memilih identitas, padahal tugas substantif mereka adalah memilih komitmen: pada proses mencari kebenaran, meskipun proses itu tidak linear dan tidak populer.
Melampaui Label: Menjadi Penjaga Metodologi Publik
Jika dikotomi akademisi-aktivis adalah jebakan, lalu apa jalan keluarnya? Jawabannya terletak pada penolakan untuk memilih salah satu label dan memeluk suatu peran substantif: menjadi Public Methodology Steward (Penjaga Metodologi Publik). Peran ini bersifat advokatif untuk cara berpikir, bukan untuk kepentingan sempit. Seorang ‘Penjaga Metodologi Publik’ melakukan tiga tindakan konkret.
Pertama, menerjemahkan rigor ke dalam aksibilitas. Ia tidak hanya menerbitkan paper, tetapi juga merancang utas media sosial yang transparan tentang metodologi penelitiannya, membuat podcast yang membedah sebuah isu dengan menunjukkan langkah-langkah verifikasi, atau menulis opini yang dengan rendah hati mengakui batasan kesimpulannya.
Kedua, mengintervensi dengan presisi, tidak hanya menyangkal hoaks, tetapi membongkarnya layer-by-layer dengan menunjukkan sumber data alternatif, membedakan korelasi dengan kausalitas, dan membeberkan logika yang cacat di dalam klaim populer.
Ketiga, membangun imunitas kognitif. Fokusnya mengajarkan masyarakat cara memancing (berpikir kritis), bukan hanya memberi ikan (fakta instan). Namun, peran baru yang mendesak ini tidak akan tumbuh subur pada lingkungan akademik yang masih memelihara pseudo-dilema. Di sinilah transformasi institusional menjadi krusial.
Tugas Substantif, Bukan Pertanyaan Identitas
Transisi menuju peran ini memerlukan dukungan institusional. Kampus perlu menghentikan budaya yang menghukum dosen yang vokal di ruang publik selama ia berpegang pada etika akademik. Sistem reward Tri Dharma harus memberi nilai setara bagi keterlibatan publik yang bermutu dengan publikasi di jurnal internasional. Yang lebih penting, komunitas akademik perlu berani mendefinisikan ulang keberanian intelektual: bukan keberanian untuk menghindari konflik, melainkan keberanian untuk terlibat dengan berpedoman pada metode.
Pseudo-dilema “akademisi atau aktivis” merupakan distraksi yang mahal harganya, karena mengalihkan energi dari tugas substantif mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi perdebatan identitas yang tidak produktif. Tugas dosen di ujung tanduk demokrasi ini adalah menolak permainan label dan kembali ke misi dasar: menjadi penjaga yang gigih bagi proses berpikir yang sehat.
“Di tengah banjir klaim dan hoaks, suara yang paling dibutuhkan bukanlah yang paling ‘lantang’ atau yang paling ‘netral’, melainkan suara ‘Penjaga Metodologi Publik’, sebuah suara yang dipercaya karena konsisten pada jalan metodologisnya dalam mencari kebenaran. Pada konsistensi metodologis itulah integritas, dan panggilan sejati, profesi akademisi tegak berdiri.


Komentar