Penulis : Dr. Sodikin, S.Pd, M.Si, M.P.W.K. Dosen Program Studi Magister Studi Lingkung, Sekolah Pascasarjana Universitas Terbuka dan Ketua Dewan Pembina YLH Estuari
Radar Waktu, Opini – Kedatangan musim hujan di tengah dinamika perubahan iklim global saat ini tidak boleh lagi dipandang sebelah mata sebagai sekadar siklus tahunan yang lumrah, melainkan harus disikapi sebagai sebuah periode transisi yang menuntut kewaspadaan tingkat tinggi dari seluruh lapisan masyarakat. Secara psikologis, suara rintik hujan memang sering kali membawa ketenangan, namun di balik itu terdapat realita bahwa curah hujan dengan intensitas ekstrem yang terjadi belakangan ini memiliki daya rusak yang signifikan terhadap struktur fisik lingkungan maupun stabilitas ekonomi rumah tangga.
Masyarakat dihimbau untuk tidak hanya terpaku pada persiapan fisik seperti menyediakan payung atau jas hujan, tetapi juga harus memiliki literasi kebencanaan yang lebih baik dalam membaca anomali cuaca yang disiarkan oleh badan meteorologi, sehingga keputusan untuk bepergian atau melakukan aktivitas luar ruangan didasarkan pada pertimbangan keselamatan yang matang, bukan sekadar nekat demi rutinitas.
Lebih jauh lagi, kewaspadaan ini harus menyentuh aspek kesehatan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar menghindari flu atau demam biasa. Pada musim ini, ekosistem di sekitar kita mengalami perubahan drastis di mana kelembapan udara yang tinggi memicu pertumbuhan jamur, bakteri, dan patogen lainnya secara eksponensial. Ancaman penyakit zoonosis dan penyakit menular melalui air (water-borne diseases) menjadi risiko nyata ketika drainase buruk menyebabkan air kotor meluap ke area pemukiman.
Oleh karena itu, masyarakat perlu secara kolektif meningkatkan standar higienitas, mulai dari memastikan kualitas air minum yang tidak tercemar rembesan air hujan hingga menjaga kebersihan tangan setelah beraktivitas di luar. Kelalaian kecil dalam menjaga sanitasi di musim hujan dapat berdampak luas pada beban fasilitas kesehatan yang biasanya akan mengalami lonjakan pasien, yang pada akhirnya akan merugikan produktivitas masyarakat secara umum.
Dari sisi tanggung jawab lingkungan dan infrastruktur mikro, setiap individu sejatinya berperan sebagai manajer risiko bagi lingkungannya sendiri. Penumpukan sampah di saluran air kecil di depan rumah mungkin terlihat sepele, namun ketika jutaan rumah tangga melakukan pembiaran yang sama, maka akan tercipta bencana banjir sistemik yang sulit dikendalikan meski pemerintah telah membangun kanal-kanal besar.
Masyarakat diharapkan memiliki inisiatif untuk memeriksa kekuatan struktur bangunan mereka, terutama bagian atap, plafon, dan instalasi kabel listrik yang rentan mengalami arus pendek saat terpapar air hujan.
Selain itu, bagi warga yang tinggal di kawasan lereng atau perbukitan, kepekaan terhadap tanda-tanda alam seperti retakan tanah atau air sumur yang tiba-tiba keruh harus ditingkatkan, karena itu adalah indikator awal potensi tanah longsor yang bisa terjadi sewaktu-waktu tanpa peringatan suara.
Terakhir, solidaritas sosial dan komunikasi antarwarga menjadi pilar penutup yang sangat menentukan dalam menghadapi ketidakpastian musim hujan. Kewaspadaan individu tidak akan efektif tanpa adanya sistem komunikasi komunitas yang baik, seperti grup pesan singkat warga yang aktif membagikan informasi terkini mengenai kondisi debit air atau titik-titik pohon tumbang di jalan akses utama.
Kita harus mengubah paradigma dari sekadar menyelamatkan diri sendiri menjadi saling menjaga keselamatan bersama, termasuk peduli terhadap kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak yang paling terdampak saat cuaca buruk melanda.
Dengan mengintegrasikan persiapan mental, kebersihan lingkungan, pemeliharaan infrastruktur mandiri, dan kepedulian sosial, kita tidak hanya akan mampu melewati musim hujan dengan selamat, tetapi juga membangun ketahanan masyarakat yang lebih tangguh dalam menghadapi tantangan alam di masa depan.



Komentar