WhatsApp Image 2025-12-21 at 12.36.19
Beranda » Blog » Disintegrasi Nilai Keislaman dan Praktik Ekonomi di Balik Bencana Banjir Sumatera

Disintegrasi Nilai Keislaman dan Praktik Ekonomi di Balik Bencana Banjir Sumatera

Penulis : Nurul A’la. S.S.I, Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Pendidikan Agama Islam Universitas 45 Bekasi.

Radar Waktu, Opini – Peristiwa bencana alam berupa banjir bandang yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera barat pada akhir November-Desember 2025 merupakan banjir bandang terparah yang terjadi di Sumatera. BNPB mencatat pertanggal 20 desember 2025 jumlah korban meninggal sebanyak 1.090 jiwa.

Jasa Penerbitan Buku

Banjir bandang yang berulang kali melanda wilayah Sumatera terutama yang terjadi pada akhir November 2025 lalu dengan arus yang sangat kuat, membawa material lumpur, batu dan kayu bahkan seekor gajah pun yang bobotnya mencapai 2-4 ton ikut terseret. Fenomena ini tidak dapat dipandang semata-mata sebagai bencana alam biasa yang bersifat natural, tetapi juga karena kesalahan manusia dalam mengelola alam seperti penggundulan hutan, alih fungsi lahan dan penambangan ilegal.

Al-Qur’an telah menegaskan bahwa kerusakan lingkungan merupakan akibat langsung dari ulah manusia :

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia”

Perdagangan Internasional di Era Digital: Peran Teknologi, E-Commerce, dan Kebijakan Pemerintah

(QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini menunjukkan hubungan sebab-akibat antara perbuatan manusia dan bencana alam. Peristiwa ini dapat dipahami sebagai peringatan ekologis agar manusia Kembali pada etika Islam dalam mengelola alam.

Penyebab Banjir bandang Sumatera bukan hanya faktor alam, tetapi juga merupakan akibat dari disintegrasi antara nilai-nilai keislaman dan praktik ekonomi. Aktivitas ekonomi seperti eksploitasi hutan, pertambangan dan alih fungsi lahan yang dijalankan dengan  orientasi keuntungan semata tanpa mempertimbangkan prinsip moral dan etika Islam.

Islam telah memberikan tuntunan bahwa kegiatan ekonomi seharusnya berlandaskan nilai keadilan (al-‘adl), keseimbangan (al-mizan), dan kemaslahatan (al-maslahah). Aktivitas ekonomi tidak bersifat bebas nilai, eksploitatif dan destruktif terhadap lingkungan . Tetapi terikat oleh prinsip-prinsip fiqih muamalah yang bertujuan menjaga maqasid al-syari’ah terutama Hifz al-nafs (perlindungan jiwa), Hifz al-mal (perlindungan harta), dan Hifz al-bi’ah (perlidungan lingkungan).

Salah satu kaidah fiqih utama menyatakan :

Perda Toleransi Sumenep: Fondasi Kokoh Kerukunan dalam Keberagaman

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

Jasa Stiker Kaca

“Kemudaratan harus dihilangkan”

Kaidah ini menegaskan bahwa segala bentuk aktivitas ekonomi yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan membahayakan masyarakat bertentangan dengan prinsip syari’ah, meskipun menghasilakn keuntungan ekonomi.

Dalam perspektif Islam, alam semesta merupakan ayat kauniyah (tanda-tanda kebesaran Allah) yang harus dihormati dan dihargai sama halnya dengan ayat qauliyah (wahyu tertulis). Peristiwa banjir bandang dapat kita simpulkan sebagai peringatan kauniyah yang harus direspon dengan ketaatan pada ayat qauliyah.

Dengan demikian, peristiwa banjir bandang di Sumatera dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari disintegrasi antara nilai keislaman dan praktik ekonomi. Islam mengajarkan bahwa menjaga alam merupakan bagian dari iman dan Amanah sebagai khalifah di bumi.

“Pasar” Nostalgia: Logika “Transaksional” di Balik Mantan dan Kenangan

Oleh karena itu, Solusi yang ditawarkan Islam bukan sekedar teknis, tetapi bersifat struktural dan moral. Harus ada kesadaran spiritual, perubahan perilaku, dan tanggung jawab moral kolektif. Yaitu dengan melakukan reintegrasi nilai-nilai keislaman ke dalam kebijakan dan praktik ekonomi, sehingga pembangunan selaras dengan kelestarian lingkungan. Dengan mengintegrasikan antara nilai keislaman dan praktik ekonomi, islam hadir sebagai rahmatan lil’alamin, membawa kebaikan bagi manusia dan seluruh alam.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *