Radar Waktu, Medan, 05 September 2025 – Universitas Sumatera Utara (USU) kembali menegaskan perannya sebagai perguruan tinggi yang tidak hanya fokus pada pendidikan akademik, tetapi juga hadir langsung di tengah masyarakat. Kali ini, tim dosen USU melaksanakan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat di Desa Paya Itik, Kabupaten Deli Serdang, dengan tujuan memperkenalkan pengetahuan tradisional Sumatera Utara kepada anak-anak melalui literasi budaya.
Kegiatan ini lahir dari keresahan akan semakin memudarnya pengetahuan generasi muda terhadap budaya lokal. Globalisasi dan derasnya arus budaya populer modern membuat anak-anak di banyak desa, termasuk Desa Paya Itik, lebih mengenal tokoh kartun internasional atau permainan digital ketimbang legenda rakyat dan tradisi daerah mereka sendiri. Situasi itu bukan hanya membuat warisan budaya berpotensi hilang, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya identitas generasi muda sebagai pewaris nilai-nilai luhur nenek moyang.
Ketua Tim Pengabdian, Septa, S.Hum., M.Hum., menjelaskan bahwa melalui program literasi budaya ini, anak-anak di desa didorong untuk kembali melihat budaya lokal sebagai sesuatu yang penting dan membanggakan.
“Melalui kegiatan literasi budaya, kami ingin menumbuhkan rasa cinta dan bangga anak-anak terhadap budaya lokal, sekaligus memperkuat identitas mereka sebagai generasi penerus bangsa,” kata Septa.
Ia menambahkan bahwa identitas budaya bukan hanya soal mengenal cerita rakyat atau permainan tradisional, melainkan juga tentang menanamkan rasa memiliki dan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga warisan itu.
Desa Paya Itik mengikuti serangkaian kegiatan yang dikemas dengan metode interaktif. Pada sesi pertama, mereka diajak menikmati pembacaan cerita rakyat. Legenda Danau Toba dan Batu Gantung dihidupkan kembali lewat teknik interactive storytelling yang membuat anak-anak tidak hanya duduk pasif, tetapi ikut berperan dalam alur cerita. Anak-anak terlihat antusias, berebut menjawab pertanyaan seputar tokoh legenda, bahkan menirukan dialog dengan penuh semangat. Dari aktivitas sederhana itu, terselip pesan moral bahwa setiap kisah tradisional selalu membawa nilai pendidikan, kebijaksanaan, dan cinta tanah air.
Sesi kedua menghadirkan congklak, permainan tradisional yang kini jarang dimainkan anak-anak. Dalam suasana riang, anak-anak belajar menata biji congklak dengan strategi, sekaligus memahami arti sportivitas. Suara tawa dan sorak kemenangan memenuhi balai desa, menciptakan nuansa kebersamaan yang jarang mereka rasakan ketika bermain gawai masing-masing. Permainan ini, menurut para pendamping, menjadi sarana efektif untuk menanamkan nilai sosial, yang secara tidak langsung mempererat hubungan antar anak.
Selanjutnya, sesi ketiga berupa kegiatan mewarnai simbol budaya. Anak-anak diberikan gambar baju adat, rumah adat, dan tarian tradisional khas Sumatera Utara. Dengan krayon berwarna-warni di tangan, mereka bebas mengekspresikan imajinasi sembari belajar mengenal detail setiap simbol budaya. Di balik kegiatan sederhana ini, anak-anak diajak memahami bahwa setiap baju adat atau rumah tradisional tidak lahir tanpa makna, melainkan menyimpan filosofi dan sejarah panjang masyarakat. Warna-warna cerah yang menghiasi gambar menjadi gambaran optimisme bahwa budaya lokal bisa tetap hidup di tangan generasi muda.
Sesi terakhir adalah diskusi reflektif yang mempertemukan anak-anak dengan orang tua, tokoh adat, serta perangkat desa. Forum ini membuka ruang dialog lintas generasi. Anak-anak menceritakan kembali apa yang mereka pelajari, sementara para orang tua berbagi kisah masa kecil mereka ketika tradisi masih menjadi bagian kuat dari kehidupan sehari-hari. Diskusi ini memberi kesan mendalam bahwa budaya bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga pedoman untuk membentuk karakter generasi mendatang.
Untuk mendukung program, tim USU menyediakan media edukatif berupa buku cerita bergambar, alat peraga, hingga dokumentasi digital. Semua kegiatan direkam dan sebagian besar diunggah ke platform YouTube agar bisa diakses oleh masyarakat luas. Strategi ini memungkinkan literasi budaya tidak berhenti di Desa Paya Itik, melainkan dapat ditiru oleh desa lain di Sumatera Utara.
Hasil kegiatan menunjukkan adanya peningkatan pemahaman anak-anak terhadap budaya lokal. Mereka terlihat semakin percaya diri saat menceritakan kembali legenda Danau Toba, semakin akrab memainkan congklak, dan semakin memahami makna baju adat yang mereka warnai. Antusiasme tinggi juga datang dari para orang tua yang merasa senang anak-anaknya kembali mengenal tradisi lama yang nyaris terlupakan. Tokoh adat dan pemerintah desa pun memberikan apresiasi penuh, menyebut program ini sebagai langkah strategis untuk melestarikan budaya di tengah gempuran modernisasi.
Septa menekankan bahwa program ini bukan sekadar ajang bermain atau hiburan.
“Program ini bukan hanya memperkenalkan budaya, tetapi juga membangun kesadaran kolektif masyarakat untuk menjaga warisan budaya Sumatera Utara agar tetap hidup di tengah arus globalisasi,” ujarnya.
Ia percaya, jika sejak dini anak-anak dikenalkan dengan budaya lokal, mereka akan tumbuh dengan rasa bangga dan tidak mudah tergerus oleh budaya luar yang datang silih berganti.
Masyarakat Desa Paya Itik sendiri diharapkan mampu melanjutkan program literasi budaya secara mandiri. Tim USU memberi dorongan agar kegiatan membaca cerita rakyat, bermain congklak, hingga mewarnai simbol budaya bisa terus dijalankan meski program resmi sudah selesai. Dengan begitu, literasi budaya bukan hanya proyek sementara, melainkan bagian dari aktivitas pendidikan sehari-hari di desa.
Program pengabdian yang dilakukan USU di Desa Paya Itik ini memberi contoh nyata bagaimana perguruan tinggi bisa hadir sebagai agen perubahan. Bukan hanya menghasilkan riset di laboratorium, tetapi juga ikut menjaga akar budaya masyarakat. Kehadiran dosen di desa membawa dampak langsung bagi anak-anak dan orang tua, sekaligus memperlihatkan bahwa tradisi lokal bisa tetap relevan jika diperkenalkan dengan cara yang tepat.
Langkah ini menjadikan Desa Paya Itik tidak sekadar sebuah wilayah kecil di Kabupaten Deli Serdang, tetapi simbol upaya kolektif melestarikan budaya. Melalui literasi budaya, anak-anak desa kini punya kesempatan tumbuh dengan jati diri yang lebih kuat. Mereka tidak hanya memahami pelajaran di sekolah, tetapi juga memiliki kebanggaan terhadap identitas budayanya sendiri.
Di tengah era digital yang terus melaju cepat, kegiatan seperti ini menjadi pengingat bahwa budaya lokal tidak boleh dibiarkan hilang begitu saja. Justru dengan inovasi seperti literasi budaya, warisan nenek moyang bisa tetap hidup, berkembang, dan diwariskan kembali kepada generasi berikutnya. Desa Paya Itik kini menjadi saksi bahwa di balik tawa anak-anak yang mendengarkan dongeng atau asyik bermain congklak, tersimpan harapan besar warisan budaya Sumatera Utara akan tetap bertahan, berdampingan dengan modernitas tanpa kehilangan jati diri.
Komentar